Judul Buku: Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia
Penulis: Koh Young Hun
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, Desember 2011
Tebal: 407 Halaman
“Dia
merupakan penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau
malah satu abad.” Demikian pujian yang disematkan Arnold Teeuw, kepada
seorang legenda sastra Indonesia bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer.
Pujian
dari guru besar Bahasa dan Kesusastraan Melayu dan Indonesia di
Universitas Leiden Belanda tersebut, hanyalah satu dari sekian banyak
ungkapan penuh decak kagum yang disenandungkan orang sebagai bentuk
apresiasi atas karya-karya seorang Pram. Berderet penghargaan diraihnya
dari berbagai lembaga dan organisasi internasional, bahkan, berkali-kali
ia sempat dinominasikan sebagai peraih Nobel di bidang sastra.
Uniknya,
segala puja-puji dari luar negeri tidak berbanding lurus dengan
perlakuan yang diterimanya dari pemerintah Indonesia. Pria kelahiran
Blora 1925 ini begitu anomalistik; ia boleh dikata sebagai sastrawan
Indonesia yang paling banyak menerima penghargaan dari dunia
internasional, tetapi Pram juga salah satu sastrawan yang paling lama
menghabiskan waktu di penjara, dan paling banyak melahirkan kontroversi.
Karya-karyanya pernah dilarang beredar di Indonesia, dalam kurun waktu
yang bersamaan ia kebanjiran puja puji dari luar negeri.
Buku berjudul lengkap Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia ini,
berusaha mendedah karya-karya Pram sebagai sebuah hasil dari proses
kreatif, sekaligus penuh intuitif dan kaya tafsir terhadap kehidupan
yang mengitarinya. Namun, mengingat banyaknya karya Pram buku ini
membatasi diri hanya pada seri novel yang berkesinambungan dalam
penceritaannya; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, Arok Dedes, dan Gadis Pantai.
Orang
sering menghubungkan keterlibatan Pram dalam Lekra yang berafiliasi
pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai alasan mengapa ia menjadi
bulan-bulanan penguasa Orde Baru pasca meletusnya peristiwa 30
September. Padahal, sebelum tragedi tersebut terjadi Pram sudah menjadi
langganan bui karena sikapnya yang berani dalam menyuarakan hati nurani
melalui tulisan. Seluruh kegelisahan, ia tumpahkan secara total melalui
sikapnya yang terus terang.
Karya-karya
Pram merupakan hasil seleksi pengalaman hidup yang pernah ditempuhnya.
Ia sosok novelis yang mencurahkan pemikirannya di bawah naungan
humanisme, dan ciri kemanusiaan merupakan landasan utama penciptaan
seluruh karya sastranya. Hal inilah yang kemudian membuatnya kerap
berseberangan dengan kepentingan para penguasa dari berbagai rezim. Pram
harus menghabiskan tujuh belas setengah tahun hidupnya di penjara
sebagai ganjarannya.
Kekecewaan
demi kekecewaan yang dialami semasa hidup, tidak membuat seorang Pram
kering, tandus lantas mati. Sebaliknya, ide-ide besar semakin deras
lahir dari pengalaman pahitnya, hingga menghasilkan berbagai karya
mumpuni, penuh energi dan daya gugat yang luar biasa sekaligus
merefleksikan kecintaannya terhadap kemanusiaan, terutama dalam karya
monumentalnya tetralogi Bumi Manusia.
Tetralogi Bumi Manusia, dapat
dikatakan sebagai novel sejarah Indonesia yang mengandung wawasan baru.
Di dalamnya, Pram menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan
sastrawan Indonesia lainnya. Ia begitu gamblang memaparkan pandangan
mengenai citra pemberontakan atas kekuasaan kolonial, warisan budaya
bangsa, gerakan kebangkitan bangsa di Tanah Air, dan peranan wanita
dalam peralihan zaman. (Halaman 89)
Sebagai
seorang pengarang, Pram mempunyai dimensi sensitivitas yang tajam untuk
mengolah kembali pengalaman pribadinya dalam bentuk karya sastra.
Kendati demikian, kepekaan tersebut seperti enggan diajak kompromi
dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran yang terjadi di depan hidungnya.
Ia ibarat kuda liar yang sulit dijinakkan dengan bujuk rayu apa pun
oleh siapa pun.
Sejak
awal kiprah kepengarangannya, perhatian Pram lebih pada aspek manusia
daripada peristiwa. Pram berpijak pada pemikiran, bahwa manusialah yang
bertindak sebagai akar dan dasar untuk memajukan bangsa. Baginya,
manusia adalah sumber kejahatan, tetapi juga kebaikan. Kemanusiaan
merupakan dasar pemikiran Pram. (Halaman 341)
Buku
setebal empat ratus tujuh halaman ini, mengajak pembaca untuk
menjelajah cakrawala pemikiran seorang Pramoedya Ananta Toer tentang
keindonesiaan dengan lugas, tajam dan penuh pertanggungjawaban akademik.
Sekaligus berusaha menyelaminya dengan kedalaman makna, keunggulan, dan
pesan tematik yang dikandungnya.
Seorang
Pram bukan hanya sebuah narasi, tetapi juga elegi tentang perlakuan
negara terhadap orang-orang hebat yang lahir dari perut Ibu Pertiwi.
Pram hanya satu dari sekian banyak orang yang dimusuhi, diasingkan,
dibungkam bahkan dihabisi oleh penguasa karena kecerdasan dan
keberaniannya dalam menyuarakan nurani. Pram terbilang “beruntung”,
selain sempat menghirup masa tua, jejaknya juga akan tetap terbaca dalam
karya-karya yang dihasilkannya. Namanya tidak akan menguap begitu saja
di udara. Selamat membaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar